10 April 2020

Sang Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan Yang Tidak Dikenali Anak Sendiri


Media Duta. Com,  - Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan buka suara mengenai kritikan terhadap dirinya di tengah pandemi corona.

Kritik terhadap Luhut ini datang dari berbagai pihak. Namun ada satu yang menyita perhatian yaitu dari Said Didu. 

Said Didu mengkritik Luhut di dalam akun YouTube nya . Judul video yang dibuat Said Didu sangat provokatif, yaitu "Luhut: Uang, Uang dan Uang".


Said Didu menuding Luhut lebih mementingkan kepentingan ekonomi ketimbang kepentingan masyarakat banyak di tengah pandemi corona. 


• Jenderal Purn Luhut Pandjaitan Ngotot Polisikan Said Didu.• Diancam Luhut Pandjaitan Akan Dilaporkan Polisi, Said Didu Posting Video Mandikan Sapi. Syarat Menikah di Masa PSBB di Jakarta. Bahkan Said Didu menyinggung mengenai sosok Luhut yang merupakan pensiunan tentara. 


Said Didu menyinggung mengenai sapta marga terhadap Luhut.  Luhut pun buka suara mengenai kritikan terhadap dirinya.


Lewat akun Facebook nya, Luhut bercerita panjang lebar mengenai sosok dirinya.  Luhut membuka tulisannya dengan menceritakan pengalamannya sebagai prajurit Kopassus.


Luhut adalah jenderal (Purn) TNI yang banyak menghabiskan kariernya di korps Baret Merah, Kopassus.  Menurut Luhut, selama 30 tahun bertugas sebagai prajurit tak pernah ada keraguan dalam dirinya ketika terjun ke daerah operasi.

Luhut mengaku terbiasa menghadapi pertempuran jarak dekat dengan situasi mencekam kala masih menggunakan baret merah.  GBahkan, kata dia, dirinya merasa tidak akan mati tertembus peluru selama bertugas di medan operasi.

"Sampai suatu ketika saya terjun di Timor Timur bersama anak buah saya, keesokan harinya saya ketahui ternyata anak buah saya ada yang mati," tulis Luhut. Semua itu, kata Luhut, ia lakukan karena kecintaan dan janji pada Sumpah Prajurit dan Sapta Marga.


Sumpah Prajurit dan Sapta Marga menjadi pedoman dan sumpah seorang perwira ketika masih digembleng di Lembah Tidar. Jadi saya tidak akan pernah mengingkari sumpah saya sebagai seorang prajurit," tuturnya.


Menurut Luhut momen kehilangan anak buah saat di medan tugas membuatnya tersadar. Ternyata manusia memang terdiri dari darah daging dan tulang, juga emosi," tulisnya.

Momen lain yang membuat dirinya terpukul adalah ketika pulang ke rumah seusai menjalani tugas di daerah operasi.  Ketika itu Uli, anak Luhut, masih berumur 3 tahun.  Sang anak ternyata tak mengenali ayahnya yang pulang ke rumah.

Anaknya sampai menangis melihat Luhut karena merasa ada orang asing masuk ke dalam kamarnya. 

"Dia tidak mengenali saya. Sebagai seorang ayah, hal itu sangat membuat saya terpukul," tulis Luhut.

Sejak itu, Luhut berjanji pada diri sendiri bahwa setiap berangkat menjalankan tugas negara, ia harus memastikan dirinya dan prajurit lainnya bisa pulang dengan selamat.

"Artinya, semua misi harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya, sehingga kami bisa pulang untuk menebus utang waktu kami dengan keluarga," tulis Luhut.

Setelah pensiun sebagai tentara, semangat pantang menyerah tak pernah luntur di diri Luhut.  Sapta Marga tetap ia jadikan pedoman dalam mengambil keputusan sebagai pejabat publik. 

"Saya selalu meyakini bahwa apa yang terbaik untuk masyarakat Indonesia maka harus diwujudkan, dengan berbagai macam risiko dan konsekuensinya. Sapta Marga mengajarkan saya untuk terus membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan," tulisnya.

Sebagai pejabat publik, Luhut mengaku terbuka terhadap kritik. Saya selalu mempersilahkan siapapun yang ingin menyampaikan kritik untuk datang dan duduk bersama mencari solusi permasalahan bangsa. Bukan dengan melempar ucapan yang menimbulkan kegaduhan tanpa fokus pada inti permasalahan," tulisnya lagi.


Namun belakangan ini, menurut Luhut, yang terjadi sudah melampaui batas.  Di tengah pandemi corona, Luhut heran ada saja pihak-pihak yang terus melemparkan ujaran kebencian dan fitnah. 

"Mengapa kita masih diliputi dengan sentimen sektarian di saat seluruh anak bangsa harusnya bersatu melawan musuh bersama yaitu virus corona, yang mengancam kesehatan serta keselamatan seluruh masyarakat Indonesia? Mengapa kita malah terus-terusan mencari perbedaan, tanpa sedikitpun berpikir persatuan?," tanya Luhut.

Di tengah situasi seperti ini, Luhut merindukan sosok almarhum Gus Dur.

Menurut dia, Gus Dur adalah inspiratornya dalam menjalani hidup sebagai pejabat negara.

Dari Gus Dur, Luhut belajar bahwa perbedaan dan kritik pasti ada karena dari perbedaan itu lahir bersama kita. 

"Wejangan Gus Dur inilah yang membuat saya selalu berprinsip bahwa persaudaraan antar anak bangsa harus kita kedepankan," tulisnya.

Menurut Luhut, bangsa Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi pandemi.

"Semua pihak sedang bergerak bersama mencari solusi untuk mempercepat penanganan Covid-19 untuk memastikan keselamatan dan kesehatan semua warga negara Indonesia," tulisnya.

"Bagi saya, ini adalah misi, dan tetap, sebuah misi harus dituntaskan dengan baik. Namun saya sungguh menyayangkan tindakan dan ucapan beberapa pihak yang tega menjadikan situasi seperti ini untuk memperkeruh keadaan dengan melakukan serangan-serangan yang tak berdasar dan malah mengarah ke personal atau pribadi orang lain. Bukan lagi kritik yang berorientasi pada pemecahan masalah dan mencari solusi bagi keselamatan negeri tercinta kita," tulisnya.

"Saya tidak pernah punya keinginan untuk membungkam kritik, karena bagi saya kritik adalah motivasi terbesar sebagai pejabat negara dalam merumuskan kebijakan yang bermanfaat.

Bukan hanya bagi generasi saat ini, tetapi juga generasi anak dan cucu kita di kemudian hari. Tapi saya juga ingin bangsa ini menjadi bangsa yang terdidik, yang terbiasa untuk saling kritik dan mendebat dengan fakta dan data yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan dengan tuduhan tak berdasar yang menyerang pribadi orang lain," tulis dia lagi.

"Sebuah tuduhan kepada pribadi seseorang tentu juga akan mengenai sisi paling privat dari orang itu. Ini pula yang kemudian dirasakan oleh keluarga dan orang-orang terdekat saya.

Mereka merasa yang hari ini terjadi sudah kelewat batas dan bukan contoh yang baik bagi pendidikan moral dan pendewasaan generasi penerus bangsa yang besar ini, terutama dalam hal berdemokrasi dan menyampaikan pendapat.

Maka perlu dilakukan sebuah tindakan untuk setidaknya membuat masyarakat Indonesia, juga anak-cucu saya, bisa belajar dan paham bahwa setiap tindakan pasti ada konsekuensinya.

Saya meyakini bahwa tidak ada kebebasan yang absolut, semua yang diucapkan harus mampu dipertanggung jawabkan.

Saya juga ingin mengajak seluruh masyarakat Indonesia agar mampu bertanggung jawab atas apapun laku dan ucap kita, karena sesederhana ucapan dan laku itu punya dampak bukan hanya kepada kita, tetapi juga lingkungan sekitar dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

  1. Jika kita berani mengucapkan dan melakukan suatu hal, mengapa kita tidak punya keberanian yang sama untuk mempertanggung jawabkannya?" tutup Luhut. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar