11 Mei 2020

Terkait Bansos, KPK Kaji Temuan BPK di Bansos  Potensi Kerugian Negara Rp 843,7 M

Ilustrasi
Jakarta Media Duta.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bakal mempelajari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut adanya potensi kerugian negara sebesar Rp 843,7 miliar terkait bantuan sosial (bansos).
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron menegaskan, kajian ini diperlukan untuk mendalami potensi kerugian negara tersebut akibat kesalahan administrasi, prosedur atau adanya dugaan pidana.
"Potensi itu harus dipastikan penyebabnya karena kesalahan administrasi, prosedur dan tata laksana, atau pidana, contoh pemalsuan, mark up data, untuk itu KPK akan mempelajari lebih dahulu setelah mendapat laporan secara resmi dari BPK," kata Ghufron, saat dikonfirmasi, Minggu (10/5/2020).
Diketahui, dalam temuan BPK diduga ada permasalahan data bansos di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda). Hal ini berdasarkan pemeriksaan terkait pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dalam penyaluran bansos selama 2018 hingga kuartal III 2019.
Hasil analisis BPK, penggunaan DTKS belum dapat meminimalisasi permasalahan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang tidak terdistribusi dan KPM tidak bertransaksi pada penyaluran Bantuan Sosial Pangan Nontunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH).

Bahkan, BPK menemukan adanya permasalahan penyaluran BPNT dan PKH dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) kepada Kementerian Sosial (Kemsos). 
Akibat hal-hal tersebut, BPK menduga adanya kekurangan penerimaan atas sisa saldo program pemerintah di rekening bank penyalur yang belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp 843,7 miliar. 
Ghufron memastikan, KPK segera berkoordinasi dengan BPK dalam mengkaji temuan tersebut. "Iya tentu berkoordinasi, terhadap semua bisnis penyelenggaraan pemerintahan yang berpotensi kerugian negara apalagi sudah ada penilaiannya dari BPK tentu KPK akan mengkaji," kata Ghufron.

Rawan Korupsi
 Sementara itu Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat)-UGM, Oce Madril mengungkapkan, dana bansos dari pemerintah dalam berbagai bentuk merupakan sektor yang rawan terjadinya korupsi. Ada banyak perkara yang ditangani penegak hukum terkait dengan bansos. 
Kerawanan itu muncul karena biaya yang dianggarkan untuk bantuan sosial umumnya sangat besar. Sementara pengawasan penyaluran dana bansos umumnya tidak ketat karena dianggap bantuan kepada masyarakat miskin atau kelompok-kelompok rentan.
Sehingga tidak terlalu mendapat perhatian dan pengawasan yang ketat karena dianggap dana untuk kelompok rentan. Justru sebetulnya karena pengawasan tidak ketat di situlah terjadi peluang ada saja orang yang kemudian mengambil keuntungan di saat-saat tidak baik itu," katanya.
Di sisi lain, katanya, terdapat persoalan penting pada bagian hulu yang membuat dana bansos rawan terjadinya kebocoran. Hal ini menyangkut ketidaksinkronan penerima dana bansos.
Data yang tersebar di berbagai instansi kerap kali tidak sinkron sehingga menyebabkan ketidakcocokan data di lapangan. "Dan itu kemudian menyulitkan memastikan dana itu tepat sasaran," ungkapnya.
Untuk itu, Oce meminta pemerintah segera melakukan sinkronisasi data penerima bansos. Dengan data yang baik dan valid dapat memastikan bantuan-bantuan yang disalurkan tepat sasaran kepada kelompok rentan.
"Tentu itu persoalan di hulu yang saya kira perlu koordinasi yang sangat intens antar lembaga-lembaga pemerintah untuk melakukan itu. Data itu sebenaenya ada, tapi tersebar di berbagai kementerian," katanya.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya penyimpangan hingga korupsi dalam penyaluran bansos, Oce meminta aparat penegak hukum membentuk Satuan Tugas (Satgas).
Satgas ini diperlukan untuk mengawasi pengelolaan dan penyaluran bansos, terutama terkait pandemi Covid-19 yang nilainya mencapai Rp 110 triliun.
Ada semacam satgas pengawasan. Terdiri dari Kejaksaan, BPKP yang akan mengawasi bansos," katanya. Oce menyatakan, Satgas gabungan ini diperlukan untuk memastikan pengawasan penyaluran dana bansos dapat maksimal.
 Menurutnya, terdapat banyak perkara terkait penyelewengan dana bansos karena lemahnya pengawasan. Untuk itu, Oce meminta Kejaksaan dan KPK bekerja sama dengan BPKP dan Inspektorat pemerintahan membuat prosedur operasional standar untuk mencegah terjadinya praktik korupsi dalam penyaluran dana bansos Covid-19.
Penegak hukum membuat SOP pengawasan dana-dana bansos supaya potensi korupsi itu bisa dicegah lebih awal. Itu bisa dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini misalnya, Kejaksaan dan KPK.  
Kejaksaan punya peluang yang besar karena kejaksaan ada di semua provinsi dan kota/kabupaten. Jadi Mereka bisa membuat SOP semacam itu.  
Bekerja sama tentunya dengan lembaga seperti BPKP atau inspektorat yang ada di pemerintahan. Mereka bisa Menutup celah pengawasan yang itu tidak dimaksimalkan sama sekali dalam kebijakan ini," katanya.

Dengan Satgas dan SOP pengawasan ini, aparat penegak hukum dapat bekerja maksimal. Termasuk menindak tegas para pelaku yang kedapatan menyelewengkan dana bantuan sosial yang ditujukan untuk masyarakat rentan ini.
"Sementara kalau ada temuan dan pelanggaran hukum yang sifatnya menuju pada pelanggaran hukum mereka bisa langsung bertindak," tegasnya.
(Fana F Suparman / WM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar