4 April 2019

Gelar Prof Nurdin Abdullah Jadi Soal Sejak Jadi Gubernur Sulsel

Makassar Media Duta. Com, - Gubernur Sulawesi Selatan ( Sulsel), Nurdin Abdullah (56) dianggap tak berhak lagi menyandang gelar "Prof". Gelar "Prof" Nurdin Abdullah pun dipersoalkan lantaran kini dia dinilai tak lagi aktif mengabdi pada Universitas Hasanuddin ( Unhas). Berdasarkan Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas), sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif mengajar atau mendidik pada perguruan tinggi. Sejak tahun 2008, Nurdin Abdullah menjabat sebagai kepala daerah, dimulai dari Bantaeng. Lalu, sejak 2018 menjabat Gubernur Sulsel. Dipakai Hingga Akhir Hayat Menanggapi dirinya masih menyandang gelar "Prof", Nurdin Abdullah mengatakan tegas jika dirinya tetap profesor dan akan terus jadi profesor hingga akhir hayat. Baginya profesor adalah karya dan sampai kapanpun dia akan terus berkarya. Dalam beberapa surat keputusan (SK) Gubernur Sulsel, tertulis Prof. Dr. Ir. H.M. Nurdin Abdullah, M.Agr. Pun di beberapa undangan resmi gubernur, tertulis nama Nurdin Abudllah dengan gelar "Prof". "Sampai sekarang saya Guru Besar Fakultas Kehutanan ( Unhas). Sampai hari ini saya ngajar, saya membimbing, itu soal iri hati saja. Jadi gelar profesor itu harus sampai di liang lahat. Di liang lahad pun kita masih profesor," kata Nurdin Abdullah menanggapi polemik penggunaan gelar profesor bagi birokrat, kepada Risaldi Irawan, jurnalis Tribun Timur, Senin (1/4/2019). Prof Gubernur Nurdin Abdullah atau berakronim NA menjadi dosen Fakultas Pertanian Unhas sejak tahun 1987, saat itu mantan Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Numang masih mahasiswa fakultas ini. Nurdin Abdullah sudah doktor (S3), peraih jenjang akademik tertinggi, sejak tahun 1994. Ia meraih gelar doktor dari Kyushu University, Jepang tahun 1994. Pada Juli 2008, Nurdin Abdullah menjadi Guru Besar Ilmu Kehutanan Unhas melalui Surat keputusan Mendikbud Bambang Sudibyo. Dia sudah berhak mengandang gelar profesor, sebulan menjelang pelantikannnya sebagai Bupati Bantaeng. Meski sudah berhak menyandang gelar profesor, Nurdin Abdullah baru berkesempatan “meresmikan” gelar profesornya menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel tahun 2018, 15 November 2017. Kala itu, Nurdin Abdullah menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan guru besar di lantai 2 ruang senat Rektorat Unhas, Tamalanrea berjudul ’Integrasi Pembangunan Wilayah Hulu dan Hilir Sebagai Strategi Konservasi Tanah dan Air guna Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat'. Pada momen “peresmian gelar profesor" itu, Nurdin Abdullah sekaligus pamit sebagai dosen setelah mengabdi lebih dua dekade (1986-2008) dan meminta restu kepada dewan senat dan sivitas akademika Unhas untuk ikut kontestasi Pilgub Sulsel 2018. Sejak itu pula, pelekatan gelar "Prof" di depan nama Nurdin Abdullah sebagai calon gubernur dipersoalkan sejumlah pihak. Menyoal penggunaan gelar profesor bagi Nurdin Abdullah nyaris beriringan dengan pengusulan gelar profesor bagi Syahrul Yasin Limpo ( SYL) pada penghujung masa pengabdiannya sebagai Gubernur Sulsel dua periode, tahun 2008-2018. Hingga, Kamis (4/4/2019) hari ini, gelar profesor kepada SYL itu tak kunjung kucur. Pengusulan pengangkatan profesor kepada SYL itu sudah diusulkan secara resmi Fakultas Hukum Unhas kepada Rektor Unhas. Proses pengangkatan SYL sebagai profesor masih berkutat pada Senat Universitas Unhas. “Masih di tim khusus senat untuk memverifikasi usulan tersebut,” kata dosen Fakultas Hukum Unhas, Hasrul. Nurdin Abdullah: Prof Bukan Nama Jalan Menurut Nurdin Abdullah, gelar profesor itu karya bukan nama jalan. Sekali seseorang menjadi profesor, sampai kapanpun akan dipanggil "Prof". Bagi Nurdin Abdullah, gelar profesor lebih melekat ketimbang bupati dan gubernur (kepala daerah). Menurutnya, bupati atau gubernur setelah masa jabatannya habis tidak lagi dipanggil sebagai Pak Bupati atau Gubernur. "Kalau bupati ada masanya, tapi kalau profesor sampai kapan pun tetap Prof. Sampai kapan pun saya tetap Prof. Sama dengan jenderal-jenderal, sudah pensiun masih dipanggil ‘Siap Jenderal," kata Nurdin Abdullah menjelaskan. Dia menilai, profesor bukan soal gelar, tapi karya. Meski dia punya gelar, tapi tidak punya karya dan menyusahkan masyarakat, lebih bagus tidak punya titel. Gelar bagi Nurdin Abdullah adalah perilaku. Dia mengibaratkan gelar bangsawan bagi orang yang tidak bangsawan, akan menjadi bangsawan kalau perilakunya bagus, tutur katanya pun bagus. "Kalau pun kita punya gelar Andi Muhammad Karaeng dan sebagainya, tapi perilakunya tidak baik itu pasti dipertanyakan jangan-jangan kw2 kw3 (palsu) kan, gitu," ujarnya. Kritikan Pengamat Sebelumnya, pengajar ilmu pemerintahan pada Universitas Muhammadiyah Makassar ( Unismuh) Luhur A Priyanto, mengritik gelar Profesor yang masih melekat pada nama Nurdin Abdullah sebagai Gubernur Sulsel. Luhur A Priyanto mengatakan, seharusnya gelar akademik ini tidak lagi digunakan oleh Luhur A Priyanto. Pasalnya, mantan Bupati Bantaeng itu sebelum ditetapkan sebagai peserta pemilihan kepala daerah (gubernur) pada tahun 2018, telah mengadakan pidato pelepasan guru besar. "Dengan migrasi dari akademisi menjadi politisi, saya kira beliau tidak lagi bergelar profesor, secara akademik," kata Luhur A Priyanto kepada jurnalis Tribun Timur, Muh Hasim Arfah, Ahad (31/3/2019). Menurutnya dengan melepas status akademik, segala beban dan tanggung jawab professorship tentu tidak lagi menjadi beban Nurdin Abdullah. Selain itu tidak ada lagi tugas untuk memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Alasan status akademik Nurdin Abdullah harus dilepas, karena arena pengabdiannya menjadi berbeda, dan menjadi lebih luas dengan status sebagai elected politician. "Gelar Prof yang masih melekat, hanya semacam penghargaan saja. Apalagi dalam tradisi masyarakat akademik kita, status jabatan guru besar atau profesor, tidak sepenuhnya bisa lepaskan dari pemiliknya," ujar Luhur A Priyanto. Luhur A Priyanto mencontohkan, beberapa tokoh besar, seperti BJ Habibie, juga tetap mendapat pengakuan dan sebutan sebagai profesor, meskipun sesungguhnya beliau juga telah purna bakti dalam pengabdian formal pada ilmu pengetahuan. Tebaran Prof Hingga saat ini ada 477 profesor aktif di 6 perguruan tinggi di Makassar. Terbanyak di Unhas, 283. Universitas Negeri Makassar ( UNM) memiliki 82 profesor aktif, Universitas Muslim Indonesia ( UMI) 53, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) sebanyak 41, Universitas Bosowa ( Unibos) 13, dan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) 5. Awal 2017, UINAM masih memiliki 45 profesor. “Sekarang sisa 41 orang, setelah beberapa guru besar meninggal dan pensiun,” ujar Wakil Rektor II Bidang Administrasi dan Keuangan UINAM, Lomba Sultan, Rabu (3/4/2019) malam. Pertumbuhan profesor memang paling pesat di Unhas. Dalam tempo dua tahun, awal 2017 ke awal 2019 ini, Unhas mencetak 51 profesor, 232 ke 283.(cr3/sim/sal/bie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar